-->

Masyarakat Rugi ata Untung dengan RUU omnibus law?



Kalau anda sering lihat di jalan raya, ada motor yang naik ke trotoar. Motor yang naik trotoar ketika jalanan macet adalah biadab. Saya pernah baca penelitian dari pengamat sosial dari Brazil tentang habit pengendara motor Indonesia yang naik trotoar ketika jalanan macet. Kalau ga salah di koran kompas. Mengapa mereka naik trotoar? 

Salah satunya adalah ini 


Asap solar. 

Kalau anda naik motor di belakang metromini yang asapnya sadis, dan anda memboncengkan istri anda dengan anak anda yang masih bayi, dan anda desperate untuk menyalip si metromini, apa yang akan anda lakukan? 

Anda naik trotoar. Anda tau anda biadab, tapi kesehatan bayi anda lebih penting. Kesehatan anda sebagai pencari uang untuk bayi anda lebih penting daripada sekedar cap biadab. Udah tau bawa bayi kok naik motor? Lha trus naik apa Bambang, kalau kemampuan ekonominya segitu? 

Kalau saja asap metromini tidak hitam kayak gitu, mungkin anda tidak akan naik trotoar. Kalau saja jalanan lancar, anda juga tidak akan naik trotoar setiap berangkat kerja supaya tidak kena SP gara- gara telat.

Ini perspektif buruh Indonesia yang dihimpit kondisi sosial ekonomi yang membuat performance mereka ga terlalu excellent. Mereka masih perlu safety net ketika mereka jatuh. 


Sekarang perspektif pengusaha

Saya pernah dapat proyek untuk membangun sebuah gedung sekolah di sebuah kota di Indonesia. Saya tidak akan menyebutkan kota apa atau propinsi apa karena takutnya terkesan rasis. 

Jadi awalnya ada teman saya mengajukan proposal memajukan pendidikan di Indonesia kepada sebuah perusahaan multinasional, sebagai bagian dari CSR mereka. Ternyata proposal itu disetujui, dan implementasinya adalah pembangunan sekolah di pojok- pojok terpencil Indonesia yang hampir tidak tersentuh kemajuan. 

Untuk membangun sekolah itu, salah satu kewajiban saya sesuai peraturan daerah adalah memakai tenaga kerja lokal. Ok, saya penuhi. Saya hanya memakai beberapa orang non lokal sebagai mandor, sisanya orang lokal. 

Setelah beberapa waktu berjalan, saya mencatat beberapa poin: 

1. Kultur lokal adalah, mereka suka sekali minum alkohol. Punya duit sedikit, alkohol. Alkohol sudah mendarah daging di situ. Tapi saya tidak dalam posisi men-judment budaya lokal ini ya.
Nah, repotnya, mestinya start kerja jam 8 pagi, mereka datang jam 10, karena jam 10 biasanya efek alkohol semalam hilang. Itupun juga belum sepenuhnya on fire. Kalau ditegur, marah. 

2. Catatan kedua adalah pace. Pace mereka kurang cepat. Misal orang yang tugasnya mengambil pasir dari tempat pasir ke tempat mengaduk semen. Mengambilnya pakai gerobak dorong.

Metode kerja mereka: dorong gerobak, stop, merokok, nyekopin pasir sampai setengah penuh, merokok lagi, penuhin pasir, merokok lagi, gituu aja terus. Dikasih tahu, marah. 

3. Mereka dibayar harian, seharusnya jam 4 sore pas bubar kerja. Tapi jam 1 siang upah udah diminta, alasannya buat makan siang. Tapi banyak case setelah makan siang mereka ga balik kerja lagi. Di cari, eh udah mabuk di warung sebelah. Ditegur, marah. 

4. Masih banyak hal kecil lainnya, misal salah pasang bata, dikasih tahu, marah. Salah pasang kusen, dikasih tau, marah. 

Akibatnya, proyek tersendat. Sementara pihak perusahaan pemberi CSR udah minta pertanggung jawaban. Mau mecat orang? Think again..Kita lapor ke dinas tenaga kerja lokal, minta dukungan, malah kita yang dimintain duit buat pesta dalam rangka negosiasi… 

Karena kondisi kayak gitu, akhirnya kita mengambil tenaga kerja non lokal secara diam- diam. Setelah maksi, orang lokal udah mabuk di jalanan, orang non lokal kita genjot kerja sampai malam. 

Rugi dong, bayar 2 kali? Iya. 

Tapi pertanggung jawaban CSR klir. Harapannya, suatu saat bisa ada project lagi untuk mencover kerugian. Tapi bukan di kota yang sama lagi. In fact, bukan di propinsi yang sama lagi. Kapok. Bukan karena orang lokal yang tidak disiplin, malas, atau mabuk, bukan. Mereka tidak disiplin, malas, dan mabuk karena gravity lingkungan mereka membuat mereka seperti itu, there is nothing they can do about it… Sama seperti motor naik trotoar. 


Sekarang topik omnibus law
 

Kondisi Indonesia di mata dunia mungkin seperti kondisi pekerja lokal seperti cerita di atas di mata orang non lokal. Pace kurang cepat, minta upah besar, disiplin kurang, UU daerah yang melindungi pekerja lokal, dsb dsb. 

Harapan investor tentu saja agar pemerintah mendukung, buruh bisa diajak lebih bekerja sama, win win solution. 

Apakah masyarakat dirugikan? 

Saya sih bilang iya. Karena masyarakat mau tidak mau harus berubah. Setidaknya sharpen the saw. Tingkatkan skill mu, namanya perubahan pasti tidak menyenangkan, dan tidak mudah kayak main sulap sim salabim. Apalagi kalau perubahannya parsial dan lingkungan tidak mendukung. Anda ga bisa lagi naik trotoar sementara metromini masih saja mengeluarkan asap solar tebal, dan anda masih punya bayi yang harus dilindungi. 

Tapi kalau tetap gitu- gitu aja? 

Ya Indonesia lama- lama akan ditinggalkan oleh investor. Ga akan ada duit buat alkohol, ga ada solar buat metromini supaya asapnya hitam dan tebal.
LihatTutupKomentar