kamulupa |
Banyak yang mengira bahwa 'profesor' adalah gelar akademik tertinggi setelah doktor, sehingga tahapan yang dilalui untuk mendapatkan label tersebut adalah seperti ini: sarjana - magister - doktor - profesor. Hayo ngaku, pasti Anda pernah berpikir demikian, kan? Perlu diketahui bahwa profesor adalah sebuah jabatan, bukan gelar akademik, sama seperti jabatan 'direktur utama' pada sebuah perusahaan atau jabatan 'rektor' di perguruan tinggi.
Di Indonesia, jenjang karir dosen terdiri dari empat tingkatan, yaitu asisten ahli, lektor, lektor kepala dan jabatan tertingginya adalah profesor (guru besar). Bila awal mulanya jabatan seseorang di suatu perusahaan adalah sebagai staff, maka jika dia berhasil memenuhi kriteria tertentu, jabatan dia bisa naik menjadi senior staff. Namun, dia juga bisa mengundurkan diri dari jabatannya tersebut. Nah, di dunia akademik pun sama. Seorang lektor bisa saja naik jabatan menjadi lektor kepala dan bahkan menjadi seorang profesor. Namun, dia juga bisa mengundurkann diri dari jabatan profesornya itu. Misalnya saja ketika dia menduduki jabatan lain yang ternyata tidak boleh dirangkap, maka mau tidak mau jabatan profesornya harus ditinggalkan.
Terkadang ada juga yang merasa jabatan profesor adalah sebuah penghormatan atas prestasinya di masa lalu, padahal jabatan tersebut bukanlah sebuah penghormatan, melainkan permulaan adanya tanggung jawab baru, seperti apa? Mengajar misalnya, lalu meneliti, melakukan pengabdian masyarakat, membimbing akademisi dan mahasiswa doktoral, menghasilkan inovasi baru di dunia penelitian, dan lainnya. Semakin tinggi jabatan, semakin besar pula tanggung jawab yang diterima.
Seorang profesor yang sudah pensiun dari jabatannya tidak lagi disebut
sebagai profesor
Mungkin hanya di Indonesia saja panggilan profesor itu (dianggap) melekat
pada diri seseorang seumur hidupnya. Padahal jabatan tersebut hanya berlaku di
lingkungan akademik saja. Sama seperti seorang supervisor. Jabatan yang dia
punya hanya berlaku di lingkungan perusahaannya saja, namun tidak di lingkungan
lainnya. Dia tidak akan dipanggil 'bapak supervisor' ketika menghadiri rapat
RT. Dan bila sudah pensiun, maka jabatan supervisor-nya pun akan hilang. Orang
yang dulunya menjabat sebagai menteri, ketika masa periodenya sudah habis, maka
dia tidak akan lagi dipanggil sebagai 'bapak/ibu menteri', ya kan? Jabatan
profesor pun demikian. Ketika dia sudah pensiun, maka jabatannya akan
ditinggalkan sehingga tidak lagi disebut sebagai 'bapak/ibu profesor'. Namun
dia dapat diangkat kembali menjadi Profesor Emeritus jika
masih terlibat dalam aktivitas di perguruan tinggi tersebut dalam waktu
tertentu.
Jadi saya kira cukup keliru ketika menyebutkan 'Prof' kepada orang yang telah
meninggalkan dunia akademik, dan herannya lagi, beberapa nama tempat di
Indonesia masih menggunakan embel-embel 'Prof' di depannya, seperti jalan Prof
Mohammad Yamin Sh atau RSU Prof Dr Sulianti Saroso di Jakarta, meski
orang-orang tersebut telah wafat.
Media kita pun masih salah memaknai jabatan profesor. Saya tergelitik
ketika melihat judul berita yang sempat panas kemarin-kemarin: pencabutan
gelar profesor Amien Rais oleh UGM. Padahal yang bersangkutan (pak Amien
Rais) sudah lama tidak menjadi akademisi di UGM, sehingga wajar jika jabatan
profesornya hilang, bukan dicabut secara paksa karena kasus (apalah) kemarin
sore.
Profesor itu bukanlah gelar, tapi jabatan, dan status jabatan bukanlah
dicabut, tapi diberhentikan. Paham, ya?
Menurut undang-undang pun, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak boleh
berpolitik praktis, jadi jika orang yang menjabat sebagai Profesor terjun
ke dunia politik (menjadi anggota partai/menteri/anggota legislatif/lainnya),
maka jabatan profesornya mestilah ditinggalkan. Lucunya, banyak menteri di
Indonesia masih disebut sebagai profesor dan media tetap ngeyel menyematkan
sebutan 'Prof' kepada mereka. Kalau mau jadi profesor, ya profesor. Kalau mau
jadi menteri, ya menteri, jangan rakus ingin dipanggil dua-duanya begitu ah.
Jadi jangan sampai keliru lagi memaknai jabatan profesor, ya! Ingat, itu
sebuah jabatan, bukan gelar. Dan ingat, jabatan itu ada masa berlakunya, tidak
dibawa sampai mati.
Catatan: Karena saya
belum pernah menjabat sebagai seorang profesor, maka tulisan saya di atas
mungkin perlu dikritisi ataupun dilengkapi karena terbatasnya pengetahuan yang
saya miliki. Informasi lengkapnya, Anda dapat membaca Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen terkait jabatan Profesor di
Indonesia.